Era kedokteran gigi konvensional yang bersifat “satu untuk semua” secara perlahan mulai bergeser menuju pendekatan yang lebih personal dan mendalam: kedokteran gigi presisi. Paradigma baru ini memanfaatkan data genetik, molekuler, dan lingkungan individu untuk merancang strategi pencegahan, diagnosis, dan perawatan yang disesuaikan secara unik. Di Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) mengambil peran kepemimpinan dalam memajukan riset dan implementasi kedokteran gigi presisi, membawa dampak revolusioner bagi kesehatan senyum bangsa.
Kedokteran gigi presisi bermula dari pemahaman bahwa setiap individu memiliki profil genetik yang unik, memengaruhi kerentanan terhadap penyakit gigi dan mulut, respons terhadap perawatan, serta metabolisme obat. Dengan menganalisis genom seseorang, dokter gigi dapat mengidentifikasi risiko genetik terhadap karies, penyakit periodontal, atau bahkan kecenderungan respons terhadap anestesi tertentu. Informasi ini menjadi dasar untuk intervensi yang sangat spesifik dan preventif.
PDGI berperan aktif dalam mendorong riset di bidang ini dengan menjalin kolaborasi antara akademisi, praktisi, dan institusi penelitian. PDGI mendukung studi-studi yang menginvestigasi profil genetik populasi Indonesia terkait dengan penyakit gigi dan mulut, serta respons terhadap berbagai terapi. Penelitian ini esensial untuk mengembangkan biomarker yang relevan secara lokal dan merancang protokol perawatan yang efektif untuk masyarakat Indonesia yang beragam.
Selain itu, PDGI juga memfokuskan pada pengembangan infrastruktur dan kapasitas sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk kedokteran gigi presisi. Ini mencakup pelatihan dokter gigi dalam interpretasi data genomik, penggunaan alat diagnostik molekuler canggih, dan penerapan prinsip farmakogenomik dalam praktik klinis. PDGI juga mendorong integrasi konsep kedokteran gigi presisi ke dalam kurikulum pendidikan dokter gigi, memastikan bahwa generasi mendatang memiliki pemahaman yang kuat tentang bidang ini.
Manfaat kedokteran gigi presisi sangat besar bagi pasien. Dengan pencegahan yang lebih terpersonalisasi, risiko penyakit dapat dikurangi secara signifikan. Diagnosis menjadi lebih akurat dan dini, sementara rencana perawatan lebih efektif dan minim efek samping. Pada akhirnya, ini mengarah pada hasil klinis yang lebih baik, kepuasan pasien yang lebih tinggi, dan penghematan biaya jangka panjang.
Tentu, implementasi kedokteran gigi presisi di Indonesia masih menghadapi tantangan, termasuk biaya teknologi, ketersediaan fasilitas riset yang memadai, dan regulasi data genetik. Namun, dengan komitmen PDGI dalam memimpin riset dan pengembangan, Indonesia bergerak maju menuju era di mana perawatan gigi tidak lagi bersifat umum, melainkan sepersonal mungkin – “dari genom ke gigi” – demi senyum sehat yang optimal untuk setiap individu di seluruh penjuru negeri.